By: Ello Aristhosiyoga
Bukan itu saja motivasi utamaku betah berlama-lama di jendela lantai dua, namun sosok cantik dengan baju biru–yang seakan sepadan dengan warna jendela, menarik perhatianku. Meski nggak secantik Mischa Barton, atau Penelope Cruz sekalipun, namun menatapnya membuatku nyaman. Sosok itu sering hadir di taman pondok.
Nyaris dua minggu sudah aku menginjakkan kaki di villa ini, villa baru yang dibeli Mama karena berhasil menerima award dari sebuah perusahaan marketing multilevel yang diikutinya. Kebetulan liburan akhir semesterku masih tersisa, kuluangkan saja untuk nyantai di villa. Pemandangan gunung, barisan sawah, lekukan sungai, ternak, kerbau sepertinya cocok untukku. Sekaligus menjauhkan kejenuhan mataku terhadap
Penasaranku makin mencuat saat aku mendapati sosoknya kembali pagi ini. Aku bergegas menuju balkon untuk melihat lebih jelas wajah sosok itu. Derit langkahku melaju dan kini berdiri tepat menghadang. Aku setengah kelimpungan mencari sosok itu yang hilang beberapa menit.
Tiga menit berlalu aku kembali melihatnya berdiri, menyandar dinding pondok. Ia duduk termangu dengan topangan dagu. Entah apa yang terjadi. Mungkin ia sedang memikirkan sesuatu. Tadi kulihat jelas ia ceria–meski itu kesimpulan pribadi, dengan lenggokan
Aku berniat untuk menyambangi pondok kecil di tengah pemandangan indah sawah. Dengan jiwa yang berapi-api aku mengatur langkah. Memakan waktu
Aku menggeleng heran. Saat kakiku selangkah lebih dekat ke pondok itu, nggak kudapati dirinya. Mungkin ia sudah berlalu masuk ke dalam pondok sejak tadi, aku berspekulasi. Aku memang kurang beruntung kali ini. “Aku harus bertemu dengannya,” janjiku kemudian dalam hati. Mungkin besok? Lusa? Atau sebentar… lah. Yup! benar, aku mesti lebih cepat.
“Kenapa? Bengong?”
Mang Diman–penjaga Villa keluargaku, mengagetkan lamunan aku. Aku kembali menatapnya setengah kagok. Diam-diam Mang Diman memperhatikan keadaan aku akhir-akhir ini. Keseringan bengong sendiri, pasti menarik perhatian orang lain.
Jelas yang membuatku bengong nggak lain, sosok itu. Aku benar-benar nggak sabar dan mulai sigap kuungkapkan apa yang kualami dua minggu lebih ini. Mang Diman mengangguk-angguk sok ngerti saat kuceritakan semua. Ia tampak gagu mendadak saat kuceritakan bahwa aku kemarin berani mengunjungi pondok mungil itu.
“Pondok itu nggak berpenghuni lagi sejak tujuh bulan lalu. Menurut warga sini, seorang wanita pemilik pondok itu hilang begitu saja. Warga sekitar pun nggak tau kejadian yang sebenarnya,” cerita Mang Diman.
Aku terkesiap. Dan desahanku bermain fluktuasi, pantas saja sosok itu sering menghilang tiba-tiba.
“Barangkali yang kau lihat, warga sekitar yang kebetulan istirahat atau…”
Masa bodoh dengan omongan Mang Diman, sebab kini napasku makin memburu nggak karuan.