Oleh : Rifky Santiago
Perlahan bunyi kursi itu menyeruak diantara keheningan, mentari baru sejenggal naik kpermukaan, tapi begitu raut wajah kuusap, terlintas dalam pikiran bahwa aku sendiri...
Bunyi itu menimbang, mengalun, dan menyerbu telinga. Memunculkan rasa takut teramat sangat. Aku berdiri dipojok itu, memandangi hamparan rumput yang terbentang tak begitu luas. Kutengok kembali, ruangan itu, inci demi inci, tak kutemukan sosok yang ingin menghampiri. Tapi denyut nadi, degupan jantunglu semakin memburu dengan waktu.
Rak buku yang berjarak setengah kaki dariku, bergoyang. Tampak keanehan ini teramat sangat, aku yang linglung lantas berdiri, tak tahu apa yang ku pikirkan saat itu. Kupecahkan satu demi satu vas bunga yang ada di hadapan ku. Tanganku secepat angin, sekilas menyambar beberapa. Aku kembali berkoar tak jelas, telingaku bahkan tak mendengar dengan baik teriakanku. Teriakan itu jelas histeris, hingga energiku terkuras habis. Kurebahkan, tubuhku ke kasur dan terhenyak sesaat memandangi langit-langit kamarku yang putih lagi bersinar. Lalu kemudian tenggalam dalam tidur.
***
Saat itu hujan deras, malam yang teramat kelam. Tak ada bintang, bulan pun redup tertelan kabut. Desis air hujan mengalir keselokan. Hujan itu tampak biasa saja, ia tak membawa angin kencang, tak pula menuai badai. Ia tak menjadi banjir, tidak juga menghanyutkan rumah. Tetapi ketika itu, sosok itu berjalan dengan perlahan. Pandangannya terarah padaku yang berada diseberang jalan. aku yang melihatnya lantas melambaikan tangan. Ia membalasnya, dengan lambaian yang agak kencang, serta di barengi dengan senyum tipis pertanda kehangatan dan, kedekatannya denganku. Sekelilingku, tak nampak seorang pun. jalanan itu sunyi. Padahal daerah itu merupakan lintasan tersibuk saat malam menjelang.
Seketika ia berlari menghampiriku, ia melewati pembatas jalan. Sosok itu sangat ingin menghampiriku. ia bahkan rela, basah kuyup untuk menghampiriku. Ia berlari, terus berlari, hampir mendekatiku. Sayup-sayup kulihat dari kejauhan.
***
Sirine mobil itu menyala, terdengar kepanikan disana-sini. Semua orang mengelu-elukan. Ada yang ternganga, termangu bahkan ada yang menangis. Mobil itu tetap melaju tanpa memperdulikan sekitarnya, ia terus saja melaju hingga kabut menutupi. Mobil itu bukan sedang mengangkut pencuri, juga bukan pemerkosa, mobil itu tidak sedang menahan seorang koruptor besar. ia berplat merah, berwarna putih, dan bertuliskan huruf kapital, yang kurang lebih bertuliskan A M B U L A N C E.
***
Saat itu suasana rumah sakit panik seketika. Dua orang berbaju putih tampak tergesa-gesa menghampiri, mereka membawa kereta dorong. mereka pula yang menurunkan korban dari mobil, sementara korban tertidur pulas dengan berwajah lugu.
Tak lama berselang seorang paruh baya tampak menyarungkan baju putih dengan berjalan tergesa-gesa pula. Tampaknya, mereka berjalan menuju ruangan yang sama yang berada diujung lorong ini.
***
Satu-demi satu orang berdatangan menghampiri rumah petak dipersimpangan itu. Aku memperhatikan dengan seksama, mataku lantas memergoki beberapa orang yang keluar dengan tersedu-sedu, menghapus genangan yang air yang tertumpah ruah di matanya. Aku kemudian melanjutkannya beberapa langkah dengan agak terbata-bata. Ketengok kembali dengan lirih. Suara yang tak asing kudengar. Lantutannya menghanyutkan, membuat merinding. Lantunan yang dibawakan jibril kepada manusia pilihan Tuhan. Beberapa orang duduk bersila, memangku, menengadahkan sebuah kitab. Aku tahu persis kitab itu. Beberapa yang lain mengenakan pakaian serba-hitam. Serta duduk mengelilingi bungkusan kain yang tergeletak tak berdaya.
***
Sampailah saatnya aku pada akhir yang kelam. Terbata melihat rentetan kisah teramat pedih. Dia ada tapi dengan sendirinya sirna. Dia diam dan tak juga menyapa, pergi dan tenggelam dalam kabut hampa. Butiran itu hangat, tanah menggunduk dengan nisan yang terpampang putih dengan taburan bunga yang menyengat. Ia di kelilingi hamparan pohon maut dan berkelindan dengan alam.
Aku terpaut dengan waktu, berlomba dengan alam, yang mengalir dengan lihai meninggalkan separuh kenangan. Aku pun tak ingin menjelaskan siapa yang pergi dan siapa yang di tinggalkan. Yang tersentak, terhenyak dan tersirat dalam benak ku hanyalah waktu, dia dan kisah.
Kamis, 04 Juni 2009
Waktu, Dia dan Kisah.
Diposting oleh kumpulan cerpen di 06.27 3 komentar
Rabu, 20 Mei 2009
Diary Tiara
Oleh: Nasty Anwar
“Tiara kecelakaan, dan dia ninggalin kita.”
Kata-kata Dara barusan membuat Rendy terhenyak, antara percaya dan tidak. Ia tertegun sebentar, berharap berita itu hanya isengan Dara dan Tiara yang kerap ngerjain dirinya. Tapi… haruskah Rendy berpikir demikian? Sedang air mata Dara jelas menunjukan rasa kehilangan terlampau besar. Perlahan, isakan Dara mulai terdengar. Rendy mengamati siluet wajah Dara. Segera cowok itu menundukan kepalanya dalam diam. Kedua kelopak matanya terasa berat. Ada yang mendesak ingin keluar dari mata indah itu, tapi Rendy berusaha menahannya.
“Waktu Tiara di rumah sakit, dia meminta untuk nggak ngasih tau kamu. Biar kamu lebih fokus ke festival… dan aku sama sekali nggak bisa nolak permintaan itu. Maafin aku Ren…” Jelas Dara terbata-bata.
Rendy berusaha menenangkan Dara, meskipun suasana hatinya mulai terasa kacau. Kali ini Rendy tak mampu lagi menahan butiran-butiran kristal itu. Kedua pipinya mulai basah.
Sesaat Rendy dan Dara terdiam, membiarkan memori tentang Tiara bermain di benak mereka. Tiara yang bawel, lucu, penuh perhatian dan cantik. Tiara yang selalu memberi solusi saat masalah menerpa pribadi Rendy maupun Dara, Tiara yang… akh, semakin diingat semakin tak sanggup otak mereka mengulangnya. Sosok itu sudah tak ada lagi, selamanya!
Usai dapat mengendalikan diri, Dara pamit. Tapi sebelumnya, gadis berambut panjang itu memberikan sesuatu pada Rendy. Sebuah diary berwarna biru–warna favorit Dara.
“Tiara nitip ini untuk kamu.”
***
Malam menjatuhkan jubah hitamnya.
Rendy masih mematung di jendela kamarnya, menikmati ribuan bintang yang berkedip manja di langit Bandung. Bayangan Tiara berkelebat di benaknya. Rendy tahu, gadis itu sangat mengagumi bintang, dan Tiara nggak sekalipun membiarkan malam tanpa menyaksikan parodi bintang-bintang.
“Tiap malam, kalo nggak mendung, aku pasti curhat-curhatan sama bintang-bintang,” kata Tiara suatu malam saat bertiga mereka ngobrol di taman depan rumah Dara.
“Oh ya? Curhat apa saja?” tanya Rendy penasaran.
“Mmm… secret!”
“Tapi aku tau lho…” celetuk Dara.
“Huss, jangan ngebongkar hal yang nggak perlu begitu.” Tiara melotot.
Dara tertawa kecil, Tiara pun mengimbanginya dengan tawa lebar. Lantas keduanya mengumbar gelak tawa. Rendy tersenyum mengingatnya. Ada rindu yang menyergapnya begitu saja.
Rendy menutup jendela kamar dan mengenjot langkah menuju meja belajar. Tangannya meraih diary biru yang menggeletak, dan mendekapnya hangat. Diary ini untukku, ya ini pemberian terakhirnya. Perlahan, Rendy membuka lembar demi lembar. Isinya kisah biasa, cerita tentang kisah-kisah lucu mereka, dirinya, Dara dan Tiara. Rendy menyemat senyum sebentar.
Rendy terkejut saat mendapati tulisan lain Tiara, Tiara naksir seseorang tapi dia nggak pernah ngomong ke aku? Penasaran mengiring Rendy menelusuri lembar-lembar berikutnya, tak ada petunjuk hingga meninggalkan lembar terakhir.
Bedroom, 230808
Hai Diary-ku,
Aku lagi kangen banget nich sama “dia” hehehehe… tapi Dara bilang, aku nggak boleh cengeng. Iya juga sich, “dia” kan lagi berjuang keras di Jakarta, demi masa depannya dan juga band-nya. Aku senang akhirnya band-nya tampil juga di festival itu. Apalagi mewakili Bandung. Pasti pendukungya banyak. Aku nggak mau ganggu kosentrasinya. Hmmm…. Diary, lama-lama aku ngerasa makin sayang sama dia. Tapi aku nggak bisa ngungkapin semuanya. Aku hanya berani ngomong semuanya ke bintang, soalnya aku takut kalo Rendy tau aku suka sama dia, dia akan benci dan ninggalin aku. Persahabatan buat aku lebih sejati…
No! ini nggak mungkin.
Tiara suka sama aku?
Mendadak jantung Rendy berdegup nggak karuan. Tiara bercerita detil di halaman terakhir diary-nya ini setelah dua hari Rendy berangkat ke Jakarta, tepat sehari sebelum kecelakaan itu. Tiba-tiba rasa sedih menyergap hati Rendy, membuat cowok itu memohon kepasrahannya–Tuhan aku mohon kembalikan Tiara. Permohonan konyol itu hanya tak akan pernah terwujud. Tiara tak akan pernah kembali.
Rendy menangis dalam diam, menggenggam diary dengan rasa kehilangan. Tiara sudah pergi… pergi dengan membawa sepenggal rasa yang sejujurnya bisa dirasakannya. Rendy menyesal, tak sempat mengungkapkannya sebelum gadis itu pergi. Dan kini…
Mei ‘09
Tim Editor kumcerpen.blogspot.com
Diposting oleh kumpulan cerpen di 21.29 11 komentar
Minggu, 26 April 2009
Sosok Sebuah Jendela
By: Ello Aristhosiyoga
Bukan itu saja motivasi utamaku betah berlama-lama di jendela lantai dua, namun sosok cantik dengan baju biru–yang seakan sepadan dengan warna jendela, menarik perhatianku. Meski nggak secantik Mischa Barton, atau Penelope Cruz sekalipun, namun menatapnya membuatku nyaman. Sosok itu sering hadir di taman pondok.
Nyaris dua minggu sudah aku menginjakkan kaki di villa ini, villa baru yang dibeli Mama karena berhasil menerima award dari sebuah perusahaan marketing multilevel yang diikutinya. Kebetulan liburan akhir semesterku masih tersisa, kuluangkan saja untuk nyantai di villa. Pemandangan gunung, barisan sawah, lekukan sungai, ternak, kerbau sepertinya cocok untukku. Sekaligus menjauhkan kejenuhan mataku terhadap
Penasaranku makin mencuat saat aku mendapati sosoknya kembali pagi ini. Aku bergegas menuju balkon untuk melihat lebih jelas wajah sosok itu. Derit langkahku melaju dan kini berdiri tepat menghadang. Aku setengah kelimpungan mencari sosok itu yang hilang beberapa menit.
Tiga menit berlalu aku kembali melihatnya berdiri, menyandar dinding pondok. Ia duduk termangu dengan topangan dagu. Entah apa yang terjadi. Mungkin ia sedang memikirkan sesuatu. Tadi kulihat jelas ia ceria–meski itu kesimpulan pribadi, dengan lenggokan
Aku berniat untuk menyambangi pondok kecil di tengah pemandangan indah sawah. Dengan jiwa yang berapi-api aku mengatur langkah. Memakan waktu
Aku menggeleng heran. Saat kakiku selangkah lebih dekat ke pondok itu, nggak kudapati dirinya. Mungkin ia sudah berlalu masuk ke dalam pondok sejak tadi, aku berspekulasi. Aku memang kurang beruntung kali ini. “Aku harus bertemu dengannya,” janjiku kemudian dalam hati. Mungkin besok? Lusa? Atau sebentar… lah. Yup! benar, aku mesti lebih cepat.
“Kenapa? Bengong?”
Mang Diman–penjaga Villa keluargaku, mengagetkan lamunan aku. Aku kembali menatapnya setengah kagok. Diam-diam Mang Diman memperhatikan keadaan aku akhir-akhir ini. Keseringan bengong sendiri, pasti menarik perhatian orang lain.
Jelas yang membuatku bengong nggak lain, sosok itu. Aku benar-benar nggak sabar dan mulai sigap kuungkapkan apa yang kualami dua minggu lebih ini. Mang Diman mengangguk-angguk sok ngerti saat kuceritakan semua. Ia tampak gagu mendadak saat kuceritakan bahwa aku kemarin berani mengunjungi pondok mungil itu.
“Pondok itu nggak berpenghuni lagi sejak tujuh bulan lalu. Menurut warga sini, seorang wanita pemilik pondok itu hilang begitu saja. Warga sekitar pun nggak tau kejadian yang sebenarnya,” cerita Mang Diman.
Aku terkesiap. Dan desahanku bermain fluktuasi, pantas saja sosok itu sering menghilang tiba-tiba.
“Barangkali yang kau lihat, warga sekitar yang kebetulan istirahat atau…”
Masa bodoh dengan omongan Mang Diman, sebab kini napasku makin memburu nggak karuan.
Diposting oleh kumpulan cerpen di 20.11 21 komentar